Sabtu, 19 Februari 2011

Isu-isu Krusial dalam Analisis Konflik. By. Dede Qirany Layn

Chapter ini membahas sejumlah isu-isu krusial dan kritis yang seringkali muncul ketika kita melakukan analisis dan menggali lebih mendalam mengenai problematic konflik. Adapun isu-isu tersebut yakni: isu kekuasaan (power), budaya, identitas, jender dan isu mengenai hak. Berikut ini diuraikan isu-isu tersebut sebagaimana dibahas oleh Fisher, dkk., (2001).

·         Kekuasaan (Power)
Kekuasaan merupakan suatu factor penting didalam masalah konflik. Suatu konflik bisa terjadi dalam rangka memperebutkan kekuasaan, memperbesar kekuasaan yang ada, ataupun berupaya mempertahankan kekuasaan. Ada beberapa pengertian mengenai ‘kekuasaan’: bisa berarti kekuatan, legitimasi, otoritas, ataupun kemampuan untuk memaksa (coercion). Hidup kita diliputi jaringan kekuasaan. Suatu persoalan kecil-lokal-domestik bisa berubah menjadi konflik berskala besar bisa structural Negara kalau sudah melibatkan pihak-pihak yang berkuasa.
Kekuasaan mengandung beberapa pengertian berikut: kekuatan, kewenangan (otoritas), legitimasi (pembenaran/pengabsahan), atau kemampuan untuk memaksa (koersif). Kekuasaan amat penting dalam mengejar suatu hasil: uang dapat dihitung, tapi kekuasaan tidak. Masalah kecil ditangan orang yang berkuasa bisa menjadi masalah besar, begitu pula sebaliknya. Mengamati berbagai dimensi kekuasaan dalam setiap situasi amatlah penting. Kekuasaan tidak berlangsung dalam keadaan vakum tetapi selalu di dalam konteks hubungan antar manusia dalam masyarakat. Kualitas kekuasaan juga tidak selalu bergantung pada kekuatan yang aktif. Dalam hal ini, komunikasi, antisipasi, dan kesadaran merupakan sumber alternatif kekuasaan, misalnya kekuasaan komunikasi melalui media internet. Michael Foucault, pemikir dari Perancis telah menegaskan bahwa ada beragam sumber kekuasaan dan menyebar dimana-mana, diantaranya yang penting yakni: posisi atau otoritas, akses ke sumber daya, jaringan kerja, kemampuan/keahlian, informasi (dalam konflik, control dan manipulasi informasi amat penting), serta kepribadian.
Ada kekuasaan yang sifatnya keras atau pemaksaan yakni kemampuan untuk memerintah dan mengerahkan kekuatan; dan kekuasaan yang lembut atau persuasi yaitu kemampuan untuk mengajak bekerja sama, untuk memberikan legitimasi dan untuk memberikan pendapat. Kekuasaan yang keras amat dominan dalam konflik kekerasan, sedangkan kekuasaan yang lembut amat penting untuk membangun perdamaian. Kekuasaan yang lembut sebetulnya dibagi lagi ke dalam dua jenis yaitu: kekuasaan tawar-menawar (bargaining) dimana kompromi dan tawar menawar merupakan aturan mainnya; dan kekuasaan integratif dengan menggunakan cara persuasi dan pemecahan masalah. Ada beberapa cara untuk menghindari pertanggungjawaban atas kekuasaan diantaranya yakni: menahan informasi, melakukan ancaman tersembunyi, menolak untuk mengakui atau ‘memiliki’ kekuasaan yang dimiliki, tetapi  juga sedikit saja komunikasi yang dibangun ataupun bisa tidak sama sekali.

·         Budaya:
Budaya juga berpengaruh pada cara berpikir dan cara bertindak seseorang, termasuk dalam hal konflik social. Budaya disini dipersepsi sebagai ‘kebiasaan dan nilai-nilai yang diakui secara umum oleh masyarakat yang tinggal disuatu tempat tertentu. Budaya merupakan produk kolektif bersama yang mengarahkan ukuran dan rangkaian tindakan berdasarkan norma yang menjadi acuan bersama’. Budaya merupakan suatu factor penting dalam konflik. Menurut Marc Ross, budaya konflik merujuk kepada adanya ‘kombinasi norma, praktik, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mereka bawa ketika mereka masuk dalam pertikaian di antara anggotanya, dengan siapa mereka bertikai, bagaimana pertikaian itu berkembang, dan bagaimana mereka mengakhirinya. Singkatnya, memahami budaya seseorang atau kelompok orang adalah penting dan berpengaruh di dalam penanganan suatu konflik. Ada budaya yang bisa menyebabkan konflik dan memperuncing konflik; tetapi ada juga aspek budaya yang bisa digunakan menyelesaikan konflik dan menjadi sumber daya untuk membangun dan mengembangkan perdamaian. Ada pranata-pranata adat lokal yang bisa dijadikan sebagai media pendekatan dalam menyelesaikan konflik social. Dalam kehidupan yang makin multicultural, maka, tidak jarang terjadi kesalahpahaman budaya, prasangka budaya, stigma-stigma cultural (‘orang belakang tanah’ misalnya), sampai pada sikap etnosentrisme budaya, yang menganggap hanya budayanya saja yang serba baik dan benar, tetapi budaya kelompok lain jelek, rendah, dan kurang baik. Karenanya, dalam menangani konflik lintas budaya misalnya, kita perlu memahami perbedaan cara yang digunakan oleh oleh setiap budaya untuk mengekspresikan dirinya baik dalam penerimaan (positif-asosiatif) maupun penolakan (disasosiatif). Salah satu isu yang krusial yakni hubungan antara budaya yang memang saling berbeda satu dengan yang lain (perbedaan budaya) dengan isu hak asasi manusia yang dianggap universal, produk pemikiran barat misalnya (?). Demikian pula kaitan antara budaya dan agama yang besar pengaruhnya dalam konflik. Sebagai bahan refleksi bisa direnungkan sejenak sebagai misal: manakah isu-isu budaya yang merupakan factor signifikan, baik dalam arti positif ataupun negative? Dapatkah anda melihat bagaimana keragaman budaya yang berbeda dapat lebih dihargai dan dihormati, untuk dapat memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi semua?

·         Identitas:
Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Kesadaran dan identifikasi diri seseorang dalam konflik bisa amat berpengaruh di dalam situasi konfliknya. Demikian pula, persepsi orang terhadap identitas seseorang juga bisa berpengaruh di dalam suatu konflik. Kebutuhan dan pentingnya identitas seseorang dalam konteks konflik dapat dikaji melalui analisis dengan bawang Bombay atau segitiga SPK. Identitas umumnya terbentuk di dalam dan melalui hubungan dan interaksi social. Disana terjadi prasangka, stereotip yang dibuat-buat, hingga melakukan politik ‘kambing hitam’ dengan mengorbankan pihak lain. Keyakinan diri amat dibutuhkan untuk bisa bertahan menghadapi dan melawan berbagai stigma dan tekanan pihak lain dalam suatu konflik.
Dalam analisis identitas, dapat dikaji berbagai aspek-aspek identitas yakni: kombinasi dari aspek budaya (bahasa, etnis, cara hidup, nilai-nilai, dan adat istiadat misalnya), berikut aspek hubungan kekerabatan (peran dan hubungan keluarga, kualitas yang diwariskan orang tua, identitas keluarga besar, dst), dan aspek pendidikan misalnya. Identitas individual juga dapat dikaji dalam berbagai kategori seperti berikut: latar belakang orang, peran, kekerabatan, serta sasaran hidup. Demikian pula, ada tipe-tipe identitas kolektif yang bisa dilacak melalui beberapa kategori indicator berikut ini: bahasa (penanda identitas etnis dan bangsa yang kuat), agama (penanda identitas etnis yang penting sepanjang sejarah), wilayah atau teritori (merupakan dasar bagi struktur ekonomi dan politik yang menjadi unit-unit dasar dalam kehidupan etnis dan bangsa), organisasi social (merujuk pada jaringan lembaga dan hubungan social yang kompleks, yang memberikan konsistensi pada kelompok etnis berdasarkan identitas pribadi anggotanya. Organisasi social membentuk batas suatu kelompok: jaringan kerja fungsional), budaya, ras (penanda identitas etnis yang paling dominan). Untuk direfleksikan: entahkah anda bisa menghormati identitas mereka yang berbeda? Apakah anda menemukan dan mempraktekan cara-cara tertentu yang bisa membantu orang untuk lebih mengerti dan menghormati perbedaan identitas masing-masing?

·      Jender
Jender sangat penting dalam memahami dinamika konflik dan mengelola konflik secara konstruktif. Jender merupakan bagian dinamika hubungan antarmanusia yang menjangkau jantung kehidupan masyarakat, dan karenanya menyebabkan konflik. Menurut Oxfam Gender Training Manual, jender didefinisikan seperti berikut: ‘orang dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki tetapi masing-masing belajar menjadi gadis dan pemuda yang tumbuh menjadi wanita dan pria. Mereka diajari perilaku dan sikap, peran dan aktivitas yang pantas bagi mereka, dan bagaimana seharusnya mereka berhubungan dengan orang lain. Perilaku yang dipelajari inilah yang menciptakan identitas jender dan menentukan peranan jender’. Singkatnya, jender terbentuk didalam proses sosiohistoris dan cultural, dan karenanya bisa berubah sesuai dinamika jaman. Jender amat besar pengaruhnya dalam konflik dan kekerasan dan karenanya perlu dikaji di dalam menangani suatu konflik.


·       Hak (Right)
Hak merupakan dimensi konflik social politik yang vital. Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran hak ini, merupakan dasar dari sejumlah konflik kekerasan. The Universal Declaration of Human Rights telah berupaya memberikan suatu landasan bagi penetapan semacam system nilai dan ukuran keadilan social, tanpa membedakan budaya atau konteks, akan tetapi dalam praktek masih juga diperdebatkan.
Hak asasi manusia merujuk pada dasar martabat manusia individu – tingkat penghargaan diri yang memberi rasa aman pada identitas pribadi dan mendorong terciptanya identitas komunitas manusia. Adapun hak-hak asasi tersebut dimulai dari hak-hak dasar (basic needs) Berkaitan dengan hak-hak dasar tersebut diperlukan beberapa aspek kunci dalam pendekatan penanganannya: perlindungan dan penyediaan hak-hak dasar seharusnya menjadi kewajiban hukum Negara atau komunitas internasional, bukan suatu amal sukarela; pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sama pentingnya dengan penyediaan barang dan jasa; sasaran kegiatannya harus 100% - hak siapapun tidak dapat diabaikan. Dan untuk itu, sudah ada sejumlah konvensi internasional, diantaranya yakni: konvensi tentang pencegahan dan hukuman terhadap kejahatan pemusnahan bangsa (1948); konvensi tentang status pengungsi (1951); perjanjian tentang hak ekonomi, social dan budaya (1966); konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (1979); Dalam hubungan social, hak-hak manusia terkadang diabaikan dengan dalih dan dasar perbedaan social budaya, kelas social, kasta dan etnisitas; dan hal ini lebih banyak dialami oleh kelompok wanita yang hak-haknya kebanyakan dilanggar. Dalam kaitan konflik social, maka, pendekatan hak amat penting guna menegakkkan perdamaian yang langgeng. Seluruh analisis konflik hendaknya melihat kekerasan structural dan memperhatikan posisi dan persepsi para stakeholder mengenai hak dan kebebasan.