Jumat, 02 Maret 2012

PATRON KLIEN DALAM PERSPECTIVE SOSIOLOGI

ABSTRAK

Dalam hubungan interaksi sosial biasanya ditandai oleh adanya proses pertukaran. Proses pertukaran ini yang dikenal dengan istilah teori pertukaran, muncul karena individu mengharapkan ganjaran, baik ekstrinsik maupun intrinsik. Namun demikian, dalam proses pertukaran itu ditandai pula oleh penguasaan sumber daya yang tidak sama, hubungan-hubungan pribadi, dan asas saling menguntungkan sehingga terjadi hubungan patron (superior) - klien (inferior). Wujud patron klien dapat berbentuk individu atau kelompok. Dalam hubungan ini para klien mengakui patronnya sebagai orang yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Sedangkan kebutuhan klien dapat terpenuhi melalui sumber daya langka yang dimiliki patronnya.

Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam yang ada di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena manusia dalam usahanya untuk melangsungkan hidupnya selalu tergantung pada lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam dimana ia berada. Ketergantungan manusia terhadap lingkungan ini terwujud dalam bentuk interaksi sosial yang berlangsung di lingkungan tersebut. Interaksi yang terjadi pada setiap lingkungan sosial itu merupakan serangkaian tingkah laku yang sistematis antara dua orang  atau lebih, yang dapat berlangsung secara horizontal dan vertikal.
Dalam hubungan dengan upaya manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Poloma mengutip pendapat Blau yang menyatakan bahwa individu tertarik pertukaran karena mengharapkan ganjaran yang ekstrinsik maupun intrinsik. Ekstrinsik dimaksudkan adalah ganjaran yang berupa uang, barang atau jasa, sedang intrinsik dimaksudkan adalah ganjaran berupa pujian, penghormatan atau bentuk kepuasan batin lainnya. Walaupun demikian tidak semua interaksi merupakan proses pertukaran, karena ia baru merupakan proses pertukaran, apabila masing-masing pihak yang berinteraksi itu berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya biasa dicapai melalui interaksi dengan orang lain dengan maksud memperoleh sarana untuk pencapaian tujuan-tujuan tersebut.
Dalam setiap lingkungan sosial tentu ada aturan-aturan atau nilai tertentu yang harus ditaati dalam berinteraksi oleh para pelaku dalam interaksi itu. Adanya aturan-aturan dan nilai-nilai ini akan mewujudkan pola tingkah laku yang dapat digunakan oleh para pelaku untuk menafsirkan tingkah laku tiap individu. Aturan-aturan yang berkembang dalam suatu lingkungan sosial akan menjadi pranata-pranata sosial. Pranata sosial ini berfungsi untuk mengatur kegiatan anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi pranata yang ada tidak selalu berfungsi sebagaimana seharusnya. Dalam situasi yang demikian maka anggota-anggota masyarakat akan berusaha memenuhi kebutuhannya dengan mengadakan hubungan diadik yang bersifat vertikal, yaitu persekutuan antara dua orang untuk mengembangkan berbagai hubungan yang bersifat pribadi antara orang yang memiliki sumber daya, kekuasaan atau status yang berbeda, yang dilakukan sebagai persahabatan yang berat sebelah, dimana kedua belah pihak saling memberikan bantuannya dalam wujud berbeda. Orang yang menempati kedudukan superior dalam hubungan ini disebut Patron, sedang yang menempati kedudukan inferior disebut Klien.
Pelras menyebutkan hubungan Patron-Klien ini dengan hubungan tidak setara antara seorang pemuka masyarakat dengan sejumlah pengikutnya, dimana ketergantungan klien ditimpali oleh Patron dengan perlindungan terhadap kliennya. Bila persahabatan yang bersifat Instrumental mencapai suatu titik ketidak-seimbangan yang maksimal sehingga seseorang sahabat demikian unggul terhadap lainnya dalam kemampuannya memberikan barang-barang dan jasa, maka hubungan persahabatan mendekati titik kritis selanjutnya menuju ke arah hubungan Patron-Klien. Hubungan antara Patron dan Kliennya merupakan persahabatan yang berat sebelah. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh Patron lebih segera nampak, baik berupa bantuan ekonomi, maupun dalam bentuk perlindungan terhadap pemerasan yang sah maupun tidak sah dari pihak penguasa. Sebagai imbalannya maka para klien memberikan modal dalam lingkup tidak nyata (intangible assets) seperti : informasi-informasi, loyalitas, atau dukungan politik. Eisenstadt mengemukakan ciri dasar hubungan Patron-Klien sebagai berikut:

1.      Hubungan Patron-Klien biasanya parati-kularistiak dan kabul.
2.      Interaksi dimana hubungan ini didasarkan, dicirikan adanya pertukaran simultan dari tipe sumber daya yang berbeda, terutama instrumental dan ekonomi, sebagaimana pada politik (dukungan, kesetiaan, hak suara dan perlindungan), dan berjanji untuk saling menolong, solidaritas dan setia terhadap yang lainnya.
3.      Pertukaran sumber daya biasanya diatur dalam beberapa jenis transaksi paket, dimana tidak satupun dari sumber daya ini yang dapat dipertukarkan secara terpisah, tetapi hanya dalam kombinasi yang termasuk dalam tiap tipe.
4.      Secara ideal, suatu elemen kuat dari adanya hubungan tanpa syarat dan kepercayaan jangka panjang dibangun di dalam hubungan ini.
5.      Hubungan yang terjadi adalah sangat ambivalent, dimana unsur ini sangat kuat pada hubungan yang bersifat primer sedang sangat lemah pada hubungan yang bersifat mesin politik.
6.      Pembentukan hubungan antara Patron-Klien tidak sepenuhnya legal, bahkan lebih banyak yang bersifat informal, meskipun sangat kuat dan pengertian.
7.      Meskipun ikatan mereka seolah-olah berjangka panjang namun hubungan Patron-Klien ini termasuk hubungan sukarela dan dapat sewaktu-waktu diputuskan secara sukarela juga.
8.      Hubungan ini dilakukan oleh individu atau jaringan individu dalam suatu cara yang vertikal.
9.      Adanya ketidaksamaan dalam hubungan ini ketidaksamaan mana jelas merupakan elemen penting bagi monopoli Patron, tapi dalam keadaan tertentu, ketidaksamaan ini sangat penting bagi Klien.

Selanjutnya Eisenstadt memintakan perhatian terjadinya beberapa kontradiksi paradoks yang merupakan keistimewaan pada Patron-Klien ini dimana yang paling penting di antaranya adalah:

a.       Suatu kombinasi yang agak ganjil dari ketidaksamaan dan asimetri dalam kekuatan dengan pernyataan, saling solider dalam hubungan pribadi perasaan-perasaan antara pribadi dan kewajiban-kewajiban.
b.      Suatu kombinasi dari kekuatan paksaan dan eksploitasi dengan hubungan sukarela dan saling menolong.
c.       Suatu kombinasi dari tekanan pada saling menolong dan solidaritas antara Patron dan Klien dengan aspek semi legal dari hubungan ini.

Dia mengemukakan bahwa ciri dasar yang disebutkan di atas merupakan hal yang umum berbagai jenis hubungan Patron-Klien, namun di luar dari ciri umu ini banyak ciri lain berdasarkan variasi dari hubungan Patron-Klien itu. Variasi hubungan yang paling sederhana dan jelas ialah bentuk hubungan antar pribadi yang diadik yang bersifat setempat yang dapat diterima dalam bentuk lingkungan agraris tradisional, sementara jaringan yang kompleks dari Patron, perantara dan Klien, dapat ditemukan pada masyarakat yang kompleks atau yang sudah maju.
Dikemukakannya pula bahwa pada literatur termasuk asumsi bahwa pada masyarakat yang politik dan ekonomi terbelakang-lah, atau tingkat modernisasi yang rendah yang menyebabkan bertahannya hubungan-hubungan Patron-Klien itu. Dijelaskan bahwa pada masyarakat atau negara dimana tingkat ekonomi periphery sangat rendah, sehingga penguasaan sumber daya lebih banyak dikuasai oleh pusat, juga akan menimbulkan hubungan Patron-Klien. Begitu pula pada masyarakat yang berdasarkan pada konsep keagamaan, dimana hanya terdapat pada kelompok tertentu yang dapat berhubungan langsung dengan alam trasendental, juga akan menyebabkan terjadinya hubungan Patron-Klien dan masih banyak contoh lainnya yang dikemukakan.
Secara terperinci, Legg mengemukakan tiga syarat agar terjalin hubungan antara Patron-Klien, yakni pertama, penguasaan sumber daya yang tidak sama, kedua hubungan yang bersifat khusus, pribadi dan mengandung kemesraan, ketiga berdasarkan azas saling menguntungkan.
Sehubungan dengan ketidaksamaan sumber daya, baik kekayaan maupun kedudukan inilah yang menimbulkan ketergantungan pihak klien pada patron menjadi lestari. Barang atau jasa yang dipertukarkan itu biasanya tidak sama, tetapi mempunyai nilai yang seimbang. Sebaliknya barang dan jasa yang dipertukarkan itu bisa saja tetapi mempunyai nilai yang seimbang menurut pandangan masing-masing pihak yang terlibat dalam pertukaran itu hal ini memungkinkan, karena nilai barang dan jasa sangat ditentukan oleh pelaku pertukaran itu. Semakin dibutuhkan barang atau jasa tersebut semakin tinggi pula nilai barang itu baginya.
Para klien mengaku patronnya sebagai orang yang memiliki kedudukan yang lebih kuat. Kebutuhan mereka dapat terpenuhi melalui sumber daya langka yang dimiliki patronnya. Dengan demikian pada diri klien tercipta suatu perasaan berutang budi di lain pihak patron memanfaatkan ketidakseimbangan itu sebagai “Lumbung Nilai” yang sewaktu-waktu dapat diambil untuk keuntungan di masa mendatang. Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tidak ada nilai tertentu yang dapat ditentukan oleh pihak luar, apabila patron memberikan sepucuk surat dari kliennya agar anak klien tersebut dapat diterima pada suatu SMP tertentu, yang apabila dia sendiri yang mengurusnya tanpa bantuan patron tidak mungkin diterima pada sekolah tersebut.
Unsur kedua dalam hubungan patron-klien menurut Legg adalah hubungan yang bersifat pribadi mengandung kemesraan (affectivity). Hubungan semacam ini hanya mungkin dilakukan dengan cara hubungan tatap muka. Hubungan langsung, dan intensif antara patron dengan kliennya mengandung unsur perasaan yang akan menimbulkan rasa saling percaya dan akrab. Hal ini akan melicinkan jalan bagi pertukaran-pertukaran selanjutnya, bahkan akan memperluas jangkauan hubungan. Misalnya hubungan itu tidak saja terjadi pada bidang ekonomi atau politik, tetapi juga tolong menolong dalam aspek kehidupan lainnya seperti kehidupan keluarga, keagamaan dan lain sebagainya.
Hubungan yang memuat berbagai ikatan serupa seperti itu bersifat elastis, yang di dalam “koalisi banyak benang” (many stranded). Unsur ketiga dalam hubungan patron klien adalah saling menguntungkan. Tujuan utama kedua belah pihak yang terlibat  dalam pertukaran, apapun status mereka, adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang atau jasa atau sumber daya lainnya yang tidak dapat diperoleh tanpa pertukaran. Mereka saling mengharapkan keuntungan, walaupun mempertukarkan barang atau jasa yang tidak sama dan tidak seimbang.
Mengenai pemilikan sumber daya, Scott membedakan paling sedikit tiga jenis sumber daya yang dimiliki oleh patron berdasarkan mana dia dapat menguasai sejumlah klien. Ketiga sumber daya tersebut adalah : pertama, pengetahuan dan keahlian, kedua, pemilikan yang langsung dibawa pengawasan oleh patron. Ketiga, pemilikan atau kekuasaan orang lain yang dikontrolkannya secara tidak langsung sumber daya langka berupa pengetahuan keahlian yang dimiliki oleh seseorang dapat dimanfaatkan untuk membantu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraannya, untuk itu ia dapat berfungsi meningkatkan status pemiliknya. Dari segi keagamaan maka sumber daya ini adalah yang paling aman, karena selain tidak mungkin hilang, juga tidak memerlukan pengawasan, dibandingkan dengan sumber daya material.
Sumber daya lain adalah pemilikan yang langsung dibawa kontrol patron yang berupa material, yang biasanya sangat dibutuhkan oleh para klien. Sumber daya semacam ini sangat potensial untuk menghimpun klien. Namun pemilikan yang berupa material ini bisa kurang aman, karena sewaktu-waktu dapat hilang atau karena bencana, sementara dalam penggunaannya juga bisa menjadi barang terlarang atau disita untuk kepentingan negara.
Sementara bentuk pemilikan lain adalah pengawasan secara tidak langsung atas barang milik orang lain. Bentuk pemilikan semacam ini biasanya dimiliki oleh para pejabat, yang pengawasannya dilakukan berdasarkan kekuatan jabatan. Maka berdasarkan kekuatan jabatan itu, seorang pejabat dapat membantu yang bersangkutan. Namun sumber daya yang demikian ini berkedudukan sangat lemah karena tergantung pada jabatan, yang diduduki oleh patron tersebut. Walaupun ketiga sumber daya itu dapat dimiliki secara terpisah oleh seorang patron, namun dapat pula dimiliki dua di antara ketiganya, atau bahkan ketiganya dapat berada di tangan seorang patron.
Seperti juga perantara-perantara sosial lainnya, hubungan patron-klien juga memilih tanah subur tempat tumbuh dan berkembangnya. Scott menyebutnya juga tiga kondisi khusus dimana hubungan patron-klien dapat tumbuh dan berkembang dengan subur, yaitu pertama, adanya perbedaan yang menyolok dalam penguasaan kekayaan, status dan kekayaan yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutan. Kedua, tidak adanya jaminan keamanan fisik, status dan posisi atau kekayaan. Ketiga, unit-unit kekerabatan yang ada tidak mampu lagi berfungsi sebagai sarana perlindungan bagi keamanan dan kesejahteraan pribadi.
Berdasarkan tulisan-tulisan mengenai hubungan patron-klien maupun hasil dari berbagai penelitian mengenai nelayan pada umumnya dan khususnya mengenai nelayan di Sulawesi Selatan, maka nampaknya ketiga faktor tersebut di atas mendukung tumbuh dan berkembangnya hubungan patron-klien di kalangan masyarakat nelayan. Bekerja sebagai nelayan merupakan pekerjaan yang berat, mengandung resiko yang sangat besar dengan penghasilan yang tidak menentu. Dalam penelitiannya di Malaysia, Firth menggambarkan keadaan ekonomi nelayan sebagai relatif sangat sederhana, tanpa teknologi mekanika, unit produksi dalam skala kecil dan suatu bentuk produksi yang hanya untuk kehidupan atau produksi subsitensi.
Keadaan musim dan cuaca sangat mempengaruhi kondisi perekonomian para nelayan, karena musim dan cuaca dapat menghentikan kegiatan penangkapan ikan di laut, yang berarti putusnya sumber penghasilan utama para nelayan. Dalam situasi yang demikian maka para nelayan terpaksa mengurus kembali kredit, itupun tidak cukup, maka para nelayan terpaksa mengurus kembali tabungnya, kalau ada, atau mengambil kredit, itupun tidak cukup, maka para nelayan terpaksa kembali membeli secara pinjaman, yang harganya jauh lebih tinggi dari harga biasanya.
Besarnya resiko dan beratnya bekerja sebagai nelayan diakui juga oleh para nelayan Belanda di Urk, teluk Ijsellmer, sehingga orientasi dan ketergantungannya kepada agama sangat kuat disebabkan oleh bahaya dan resiko besar yang berkaitan dengan pekerjaan mereka sebagai nelayan di laut terbuka. Karena itu yang diulang-ulang dalam kebaktian di gereja-gereja adalah memohon keselamatan anak saudaranya yang sedang bekerja di laut.
Dari hasil penelitiannya di Jepara, Mubyarto dan kawan-kawannya memperkuat pendapat Emerson bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin dari pada petani perajin walaupun di perairan Jepara banyak ikan, tetapi karena nelayan pendatang mempunyai alat tangkap yang lebih modern dibandingkan dengan alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Jepara, sehingga kekayaan laut tidak dapat dinikmati oleh para nelayan Jepara itu sendiri.
Dalam penelitiannya di pelabuhan Ratu, Jawa Barat, Amri Marzali menemukan bahwa dalam sistem bagi hasil di lingkungan nelayan payang, gillnet dan barang, ternyata pemilik tenaga kerja, sementara biaya operasi, pajak-pajak penjualan, ongkos kuli angkut dan perbaikan-perbaikan peralatan harus ditanggung bersama.
Dalam suatu penelitian di dalam desa pantai di Sulawesi Selatan ditemukan tingkat pendapatan penduduk desa pantai yang bekerja sebagai nelayan relatif sangat kurang, yaitu hanya mencapai rata-rata, Rp. 166.145,- per tahun/orang, yang berarti pendapatan mereka dalam sebulan hanya mencapai sekitar Rp. 46.15.- dalam sehari.
Perhatian pemerintah yang cukup besar terhadap desa pantai khususnya desa nelayan adalah cukup beralasan jika dilihat bahwa perkembangan desa pantai relatif lebih lambat dibanding dengan desa pedalaman. Ditinjau dari segi tingkat pendapatan penduduk, ternyata bahwa tipe desa nelayan, adalah paling rendah dibanding dengan tipe desa pantai lainnya.
Dari hasil penelitian di atas, memperlihatkan bahwa tingkat pendapatan yang rendah di kalangan nelayan mengakibatkan kurang/tidak mempunyai unit-unit kekerabatan masih kuat di kalangan nelayan, tetapi susah membayangkan bagaimana cara orang-orang miskin menolong orang miskin lainnya. Karena itu orang-orang miskin itu terpaksa berpaling kepada orang kaya yang akan bertindak sebagai patronnya.
Usaha untuk meningkatkan taraf hidup nelayan sudah banyak dilakukan baik oleh pemerintah maupun para pengusaha, namun hasilnya belum memuaskan, bahkan nampak kesenjangan yang semakin lebar antara pendapatan yang diterima oleh pemilik modal oleh nelayan sawi. Kehadiran motor dalam penangkapan ikan menciptakan kondisi yang semakin menguntungkan pemilik modal, hal mana mengakibatkan semakin terakumulasinya pendapatan pada pemilik modal.
Dengan semakin menumpuknya keuntungan pada pemilik modal, maka keadaan ini akan menimbulkan perbedaan penguasaan sumber daya ekonomi yang semakin menyolok antara pemilik modal dengan nelayan sawi. Keadaan ini menurut Scott akan merupakan suatu kondisi yang mendukung tumbuh dan berkembangnya hubungan patron-klien. Ikatan antara pemilik modal dan sawi yang semula hanya dilihat oleh hubungan kerja akan berubah menjadi hubungan patron-klien, hubungan mana akan melibatkan berbagai aspek hubungan sosial di luar hubungan kerja.
Penduduk Sulawesi Selatan, umumnya Bugis dan Makassar sejak dulu dikenal sangat ketat dalam stratifikasi sosial berdasarkan adat, yang sudah ada sejak abad ke XV pada masa pemerintahan Tomanurung.
Stratifikasi sosial berdasarkan adat itu sampai kini pun semakin nampak, walaupun sudah tidak ketat lagi dengan keadaan masa pemerintahan Belanda, yang memang semakin menghidup-hidupkannya untuk memudahkan penguasaan rakyat kecil oleh pemerintah Belanda.
Fredricy, 1933 yang dikutip oleh Thamrin M. Lihawa, menyebutkan adanya tiga lapisan sosial yaitu :
1. Anak karaeng (bangsawan keturunan tomanurung); 2. Tomardekaya (orang kebanyakan); 3. Ata ( hamba atau budak). Tetapi menurut Li Hawa, di Bontoala sekarang ini hanya terdapat golongan anak karaeng dan tomaradeka, walaupun kedua golongan ini masih dibagi lagi dalam lapisan yang lebih kecil. Namun, Rusdin Pohan menemukan di pulau-pulau sembilan kabupaten Sinjai bahwa stratifikasi telah bergeser pada stratifikasi sosial. Wujud pranata punggawa dan sawi bukan hanya berlaku dalam suasana kerja semata-mata, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Keadaan yang sama juga ditemukan oleh Sudharto dalam penelitiannya di Lappa, dimana sistem pelapisan sosial berdasarkan keturunan lambat-laun menjadi kian memudar karena perkembangan ekonomi yang cepat dan munculnya penghargaan baru yang didasarkan pada pemilikan sumber daya ekonomi. Tetapi meskipun terjadi pergeseran nilai dalam menerapkan lapisan sosial, ini tidak berarti hilangnya sama sekali pengaruh kekuasaan orang-orang bangsawan, karena pada umumnya mereka juga menguasai sumber daya ekonomi tersebut seperti tambak atau pertanian.



DAFTAR KEPUSTAKAAN


Eisenstadt, S. N and L. Roniger, 1984. Patrons, Clients and Friends. Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society. Cambridge University press London.
Firth, Raymond. 1996. Malay Fishermen. Their Peasant Economic. Runtledge  & Regan Paul, Ltd. London.
Koentjoroningrat. 1967. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat, Jakarta.
Legg, Keith R. 1984. Tuan, Hamba dan Politisi. Sinar Harapan, Jakarta.
Pelras, C. 1981 hubungan Patron-Klien Dalam Masyarakat Bugis dan Makassar.
Poloma, Margaret M. 1982. Sosiologi Kontemporer. CV. Rajawali, Jakarta.
Scott, James C. 1977. Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, dalam Steffen Achmadi W. A. Reader in Political Clenteliem. University of California Press, London.
Wolf, Eric R. 1978. Kinchip, Friendship and Patron-Client Relation in Complex Societies, Michael Banton (eds): The Social Anthropology of Complex Societies. Tavistcol Publications, London.

Sabtu, 19 Februari 2011

Isu-isu Krusial dalam Analisis Konflik. By. Dede Qirany Layn

Chapter ini membahas sejumlah isu-isu krusial dan kritis yang seringkali muncul ketika kita melakukan analisis dan menggali lebih mendalam mengenai problematic konflik. Adapun isu-isu tersebut yakni: isu kekuasaan (power), budaya, identitas, jender dan isu mengenai hak. Berikut ini diuraikan isu-isu tersebut sebagaimana dibahas oleh Fisher, dkk., (2001).

·         Kekuasaan (Power)
Kekuasaan merupakan suatu factor penting didalam masalah konflik. Suatu konflik bisa terjadi dalam rangka memperebutkan kekuasaan, memperbesar kekuasaan yang ada, ataupun berupaya mempertahankan kekuasaan. Ada beberapa pengertian mengenai ‘kekuasaan’: bisa berarti kekuatan, legitimasi, otoritas, ataupun kemampuan untuk memaksa (coercion). Hidup kita diliputi jaringan kekuasaan. Suatu persoalan kecil-lokal-domestik bisa berubah menjadi konflik berskala besar bisa structural Negara kalau sudah melibatkan pihak-pihak yang berkuasa.
Kekuasaan mengandung beberapa pengertian berikut: kekuatan, kewenangan (otoritas), legitimasi (pembenaran/pengabsahan), atau kemampuan untuk memaksa (koersif). Kekuasaan amat penting dalam mengejar suatu hasil: uang dapat dihitung, tapi kekuasaan tidak. Masalah kecil ditangan orang yang berkuasa bisa menjadi masalah besar, begitu pula sebaliknya. Mengamati berbagai dimensi kekuasaan dalam setiap situasi amatlah penting. Kekuasaan tidak berlangsung dalam keadaan vakum tetapi selalu di dalam konteks hubungan antar manusia dalam masyarakat. Kualitas kekuasaan juga tidak selalu bergantung pada kekuatan yang aktif. Dalam hal ini, komunikasi, antisipasi, dan kesadaran merupakan sumber alternatif kekuasaan, misalnya kekuasaan komunikasi melalui media internet. Michael Foucault, pemikir dari Perancis telah menegaskan bahwa ada beragam sumber kekuasaan dan menyebar dimana-mana, diantaranya yang penting yakni: posisi atau otoritas, akses ke sumber daya, jaringan kerja, kemampuan/keahlian, informasi (dalam konflik, control dan manipulasi informasi amat penting), serta kepribadian.
Ada kekuasaan yang sifatnya keras atau pemaksaan yakni kemampuan untuk memerintah dan mengerahkan kekuatan; dan kekuasaan yang lembut atau persuasi yaitu kemampuan untuk mengajak bekerja sama, untuk memberikan legitimasi dan untuk memberikan pendapat. Kekuasaan yang keras amat dominan dalam konflik kekerasan, sedangkan kekuasaan yang lembut amat penting untuk membangun perdamaian. Kekuasaan yang lembut sebetulnya dibagi lagi ke dalam dua jenis yaitu: kekuasaan tawar-menawar (bargaining) dimana kompromi dan tawar menawar merupakan aturan mainnya; dan kekuasaan integratif dengan menggunakan cara persuasi dan pemecahan masalah. Ada beberapa cara untuk menghindari pertanggungjawaban atas kekuasaan diantaranya yakni: menahan informasi, melakukan ancaman tersembunyi, menolak untuk mengakui atau ‘memiliki’ kekuasaan yang dimiliki, tetapi  juga sedikit saja komunikasi yang dibangun ataupun bisa tidak sama sekali.

·         Budaya:
Budaya juga berpengaruh pada cara berpikir dan cara bertindak seseorang, termasuk dalam hal konflik social. Budaya disini dipersepsi sebagai ‘kebiasaan dan nilai-nilai yang diakui secara umum oleh masyarakat yang tinggal disuatu tempat tertentu. Budaya merupakan produk kolektif bersama yang mengarahkan ukuran dan rangkaian tindakan berdasarkan norma yang menjadi acuan bersama’. Budaya merupakan suatu factor penting dalam konflik. Menurut Marc Ross, budaya konflik merujuk kepada adanya ‘kombinasi norma, praktik, dan lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mereka bawa ketika mereka masuk dalam pertikaian di antara anggotanya, dengan siapa mereka bertikai, bagaimana pertikaian itu berkembang, dan bagaimana mereka mengakhirinya. Singkatnya, memahami budaya seseorang atau kelompok orang adalah penting dan berpengaruh di dalam penanganan suatu konflik. Ada budaya yang bisa menyebabkan konflik dan memperuncing konflik; tetapi ada juga aspek budaya yang bisa digunakan menyelesaikan konflik dan menjadi sumber daya untuk membangun dan mengembangkan perdamaian. Ada pranata-pranata adat lokal yang bisa dijadikan sebagai media pendekatan dalam menyelesaikan konflik social. Dalam kehidupan yang makin multicultural, maka, tidak jarang terjadi kesalahpahaman budaya, prasangka budaya, stigma-stigma cultural (‘orang belakang tanah’ misalnya), sampai pada sikap etnosentrisme budaya, yang menganggap hanya budayanya saja yang serba baik dan benar, tetapi budaya kelompok lain jelek, rendah, dan kurang baik. Karenanya, dalam menangani konflik lintas budaya misalnya, kita perlu memahami perbedaan cara yang digunakan oleh oleh setiap budaya untuk mengekspresikan dirinya baik dalam penerimaan (positif-asosiatif) maupun penolakan (disasosiatif). Salah satu isu yang krusial yakni hubungan antara budaya yang memang saling berbeda satu dengan yang lain (perbedaan budaya) dengan isu hak asasi manusia yang dianggap universal, produk pemikiran barat misalnya (?). Demikian pula kaitan antara budaya dan agama yang besar pengaruhnya dalam konflik. Sebagai bahan refleksi bisa direnungkan sejenak sebagai misal: manakah isu-isu budaya yang merupakan factor signifikan, baik dalam arti positif ataupun negative? Dapatkah anda melihat bagaimana keragaman budaya yang berbeda dapat lebih dihargai dan dihormati, untuk dapat memperjuangkan perdamaian dan keadilan bagi semua?

·         Identitas:
Identitas diperoleh dari rasa memiliki suatu budaya. Kesadaran dan identifikasi diri seseorang dalam konflik bisa amat berpengaruh di dalam situasi konfliknya. Demikian pula, persepsi orang terhadap identitas seseorang juga bisa berpengaruh di dalam suatu konflik. Kebutuhan dan pentingnya identitas seseorang dalam konteks konflik dapat dikaji melalui analisis dengan bawang Bombay atau segitiga SPK. Identitas umumnya terbentuk di dalam dan melalui hubungan dan interaksi social. Disana terjadi prasangka, stereotip yang dibuat-buat, hingga melakukan politik ‘kambing hitam’ dengan mengorbankan pihak lain. Keyakinan diri amat dibutuhkan untuk bisa bertahan menghadapi dan melawan berbagai stigma dan tekanan pihak lain dalam suatu konflik.
Dalam analisis identitas, dapat dikaji berbagai aspek-aspek identitas yakni: kombinasi dari aspek budaya (bahasa, etnis, cara hidup, nilai-nilai, dan adat istiadat misalnya), berikut aspek hubungan kekerabatan (peran dan hubungan keluarga, kualitas yang diwariskan orang tua, identitas keluarga besar, dst), dan aspek pendidikan misalnya. Identitas individual juga dapat dikaji dalam berbagai kategori seperti berikut: latar belakang orang, peran, kekerabatan, serta sasaran hidup. Demikian pula, ada tipe-tipe identitas kolektif yang bisa dilacak melalui beberapa kategori indicator berikut ini: bahasa (penanda identitas etnis dan bangsa yang kuat), agama (penanda identitas etnis yang penting sepanjang sejarah), wilayah atau teritori (merupakan dasar bagi struktur ekonomi dan politik yang menjadi unit-unit dasar dalam kehidupan etnis dan bangsa), organisasi social (merujuk pada jaringan lembaga dan hubungan social yang kompleks, yang memberikan konsistensi pada kelompok etnis berdasarkan identitas pribadi anggotanya. Organisasi social membentuk batas suatu kelompok: jaringan kerja fungsional), budaya, ras (penanda identitas etnis yang paling dominan). Untuk direfleksikan: entahkah anda bisa menghormati identitas mereka yang berbeda? Apakah anda menemukan dan mempraktekan cara-cara tertentu yang bisa membantu orang untuk lebih mengerti dan menghormati perbedaan identitas masing-masing?

·      Jender
Jender sangat penting dalam memahami dinamika konflik dan mengelola konflik secara konstruktif. Jender merupakan bagian dinamika hubungan antarmanusia yang menjangkau jantung kehidupan masyarakat, dan karenanya menyebabkan konflik. Menurut Oxfam Gender Training Manual, jender didefinisikan seperti berikut: ‘orang dilahirkan sebagai perempuan atau laki-laki tetapi masing-masing belajar menjadi gadis dan pemuda yang tumbuh menjadi wanita dan pria. Mereka diajari perilaku dan sikap, peran dan aktivitas yang pantas bagi mereka, dan bagaimana seharusnya mereka berhubungan dengan orang lain. Perilaku yang dipelajari inilah yang menciptakan identitas jender dan menentukan peranan jender’. Singkatnya, jender terbentuk didalam proses sosiohistoris dan cultural, dan karenanya bisa berubah sesuai dinamika jaman. Jender amat besar pengaruhnya dalam konflik dan kekerasan dan karenanya perlu dikaji di dalam menangani suatu konflik.


·       Hak (Right)
Hak merupakan dimensi konflik social politik yang vital. Pelanggaran hak dan perjuangan untuk menghapuskan pelanggaran hak ini, merupakan dasar dari sejumlah konflik kekerasan. The Universal Declaration of Human Rights telah berupaya memberikan suatu landasan bagi penetapan semacam system nilai dan ukuran keadilan social, tanpa membedakan budaya atau konteks, akan tetapi dalam praktek masih juga diperdebatkan.
Hak asasi manusia merujuk pada dasar martabat manusia individu – tingkat penghargaan diri yang memberi rasa aman pada identitas pribadi dan mendorong terciptanya identitas komunitas manusia. Adapun hak-hak asasi tersebut dimulai dari hak-hak dasar (basic needs) Berkaitan dengan hak-hak dasar tersebut diperlukan beberapa aspek kunci dalam pendekatan penanganannya: perlindungan dan penyediaan hak-hak dasar seharusnya menjadi kewajiban hukum Negara atau komunitas internasional, bukan suatu amal sukarela; pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sama pentingnya dengan penyediaan barang dan jasa; sasaran kegiatannya harus 100% - hak siapapun tidak dapat diabaikan. Dan untuk itu, sudah ada sejumlah konvensi internasional, diantaranya yakni: konvensi tentang pencegahan dan hukuman terhadap kejahatan pemusnahan bangsa (1948); konvensi tentang status pengungsi (1951); perjanjian tentang hak ekonomi, social dan budaya (1966); konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita (1979); Dalam hubungan social, hak-hak manusia terkadang diabaikan dengan dalih dan dasar perbedaan social budaya, kelas social, kasta dan etnisitas; dan hal ini lebih banyak dialami oleh kelompok wanita yang hak-haknya kebanyakan dilanggar. Dalam kaitan konflik social, maka, pendekatan hak amat penting guna menegakkkan perdamaian yang langgeng. Seluruh analisis konflik hendaknya melihat kekerasan structural dan memperhatikan posisi dan persepsi para stakeholder mengenai hak dan kebebasan. 

Senin, 29 November 2010

Teori Penyebab Konflik


Berbagai teori-teori mengenai penyebab terjadinya suatu konflik social dapat diuraikan berikut ini:
·       Teori Hubungan Masyarakat: Teori hubungan masyarakat, menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh adanya polarisasi & fragmentasi sosial, serta ketidakpercayaan dan permusuhan yang terus terjadi diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda atau majemuk. Teori ini membantu menjelaskan adanya kemajemukan dan ketegangan social yang sudah barang tentu terjadi karena perbedaan dan pertentangan kepentingan, prinsip dan kehendak yang ada. Adapun sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah, pertama, meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik; kedua, mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling memahami dan menerima keragaman & kesederajatan yang ada di dalamnya; ketiga, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap; serta keempat, melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
·         Teori Kebutuhan Manusia.  Teori kebutuhan manusia merupakan bidang teori psikologis diantaranya yang diajukan oleh Psikolog Amerika, Abraham Maslow, yang berasumsi bahwa konflik yang sesungguhnya berakar secara mendalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau cenderung dihalangi. Misalnya, kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi cukup sering merupakan inti pembicaraan. Adapun sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: pertama, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; kedua, agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
·         Teori Negosiasi Prinsip. Teori negosiasi prinsip menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini yakni: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Selanjutnya, hendak melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
·         Teori Identitas. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena terancamnya atau tidak diakuinya identitas orang atau sekelompok orang, yang sering berakar di dalam hilangnya sesuatu atau di dalam penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka dapat mengharapkan mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing, serta untuk membantu membangun rasa empati dan rekonsiliasi di antara mereka; kedua, meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
·         Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam komunikasi dan cara berkomunikasi diantara berbagai kelompok budaya yang berbeda. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain; kedua, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, seperti sikap atau pola pikir etnosentris yang menganggap hanya budayanya saja yang baik dan benar, tetapi mengganggap budaya pihak lain sebagai salah, jelek dan rendah. Titik ekstrim dari etnosentrisme ini adalah pada paham etrokratis yang mana menanggap kelompok budaya tertentu saja yang layak berkuasa dan menjadi pemimpin; kedua, meningkatkan keefektifan antarbudaya.
·         Teori Transformasi Konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidakseteraan dan ketikadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; kedua, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik; ketiga, mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamain, pengampunan, rekonsiliasi, dan pengakuan.
Perlu ditambahkan bahwa pentingnya pemahaman dan analisis yang lebih mendalam terhadap konflik kekerasan (violent conflict), khususnya melalui sumbangan berbagai perspektif teoritik diatas akan sangat membantu oleh karena beberapa factor alasan berikut ini. Pertama, menunjukkan bahwa perilaku kekerasan dan peperangan, dalam banyak kasus, hanya merupakan bagian kecil dari penyebab suatu konflik. Kedua, menunjukan adanya saling keterkaitan antara ketiga dimensi (sikap, perilaku, konteks), sehingga intervensi pada suatu dimensi saja akan menimbulkan dampak reaksi terhadap dimensi lain. Ketiga, menyadarkan kita untuk mengidentifikasi orang-orang yang melakukan kekerasan dan memperoleh keuntungan darinya, kadang dikenal sebagai para wisatawan konflik (pembonceng konflik) yang kepentingannya terpenuhi melalui kekerasan yang terus berlangsung. Dan keempat, sebagai jalan pembuka yang vital ke arah transformasi konflik, dalam hal konteks dan  sikap terhadap suatu situasi.
Bagian berikut hendak menguraikan tentang berbagai peralatan intelektual (frame of analysis) guna mengkaji dan menganalisis seluk-beluk konflik.

Pentingnya Pendekatan Analisis Konflik
Sebagai calon analist social atau aktivis social yang akan hidup dan berkarya ditengah masyarakat yang sarat dan rawan dengan konflik kekerasan termasuk konflik social dan politik, seperti di Maluku, kita sudah barang tentu perlu mengetahui dengan lebih baik tentang dinamika, hubungan dan isu-isu dalam suatu situasi tertentu, sehingga kita akan terbantu merencanakan strategi dan melakukan tidakan yang lebih baik. Wawasan pengetahuan dan pemahaman dimaksud umumnya bisa ditempu melalui dua cara yakni: pertama, dengan menjalankan analisis konflik secara rinci dari berbagai sudut pandang; tetapi bisa juga melalui upaya menggali isu-isu dan masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan konflik-konflik tersebut. Dengan demikian, analisis konflik amat penting dilakukan. Adapun analisis konflik dimengerti sebagai suatu proses intelektual-praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan.

Alat bantu untuk menganalisis situasi konflik
Ada sejumlah alat bantu (instrument) untuk menganalisis konflik dan menjelaskan cara penggunaannya dalam kasus-kasus penanganan konflik tertentu, yakni: 1) penahapan konflik; 2) pengurutan kejadian; 3) segitiga SPK (sikap-perilaku-konteks); 4) Analogi bawang Bombay (Donat); 5) Pohon Konflik; 6) Analisis Kekuatan Konflik; 7) Analogi Pilar; dan 8) Piramida (Fisher, dkk., 2001).

1. Penahapan Konflik
          Teknik penahapan konflik merupakan suatu cara menganalisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan fluktuasi (peningkatan dan penurunan) intensitas konflik yang dilukiskan dalam skala waktu tertentu. Tujuannya yakni: pertama, untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik; kedua, untuk membahas pada tahap situasinya sekarang berada; ketiga, untuk berusaha meramalkan pola-pola intensitas konflik di masa depan dengan tujuan untuk menghindari pola-pola itu terjadi; dan keempat, untuk mengidentifikasi periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat-alat bantu lain.
Analisis dasar dengan teknik penahapan konflik terdiri dari lima tahap berikut ini:
l  Tahap Prakonflik. Ini merupkan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau, lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.
l  Tahap Konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa bersalah, mungkin para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak.
l  Tahap Krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menentang pihak-pihak lainnya.
l  Tahap Akibat Konflik. Suatu krisis akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Suatu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain.
l  Tahap Pascakonflik. Akhirnya, situasi diselenggarakan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali menjadi situasi pra-konflik.
Adapun teknik penahapan konflik biasanya digunakan di awal proses analisis untuk mengidentifikasi pola-pola dalam konflik. Selain itu, digunakan pula diakhir proses untuk membantu menyusun strategi.

2.    Pengurutan kejadian
Teknik pengurutan kejadian merupakan suatu alat bantu analisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang digambarkan di dalam skala waktu tertentu. Tujuan menggunakan teknik ini yakni: pertama, untuk menunjukkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah dalam suatu konflik; kedua, untuk menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-kejadian; ketiga, untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak.
Teknik pengurutan kejadian biasanya digunakan mulai pada awal proses, bersama dengan alat-alat bantu analisis lainnya; tetapi digunakan pula diakhir proses untuk membantu menyusun strategi; biasanya digunakan pada saat mana orang-orang berbeda pendapat tentang kejadian-kejadian, atau tidak saling mengetahui sejarah masing-masing; serta menjadi suatu cara membantu masyarakat untuk menerima bahwa pandangan mereka sendiri hanyalah sebagian dari “kebenaran”.

3.    Pemetaan Konflik
            Teknik pemetaan konflik merupakan sebuah alat bantu analisis konflik dalam bentuk semacam teknik visual yang menggambarkan hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya yakni: pertama, untuk lebih memahami situasi dengan baik; kedua, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas; ketiga, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan; keempat, untuk memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi; kelima, untuk melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada di mana; keenam, untuk mengidentifikasi intervensi atau tindakan; ketujuh, untuk mengevaluasi apa yang dilakukan. Teknik ini biasanya digunakan pada awal proses, bersama dengan alat-alat bantu analisis lainnya; Juga diakhir proses, untuk mengidentifikasi kemungkinan jalan pembuka dalam mengambil tindakan atau untuk membantu proses membangun strategi. Variasi penggunaannya meliputi: peta geografis yang menunjukkan tempat dan pihak-pihak yang terlibat; pemetaan berbagai isu; pemetaan penjajaran kekuasaan; pemetaan berbagai kebutuhan dan ketakutan; serta patung manusia untuk mengungkap berbagai perasaan dan hubungan yang ada.

4.    Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)
          Segitiga SPK merupakan sebuah alat bantu analisis konflik yang menganalisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan konteks bagi masing-masing pihak utama. Tujuannya yakni:
Ø  Untuk mengidentifikasi ketiga faktor itu di setiap pihak utama.
Ø  Untuk menganalisi bagaimana faktor-faktor itu dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak.
Ø  Unutuk menghubungkan faktor-faktor itu dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak.
Ø  Untuk mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi.
Adapun teknik segitiga SPK digunakan pada awal proses untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang motivasi pihak yang berbeda. Demikian pula, digunakan diakhir proses untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang dapat diatasi dengan suatu intervensi. Serta untuk menunjukkan bagaimana perubahan dalam satu aspek mungkin mempengaruhi aspek lain. Cara menggunakannya yakni, setelah membuat daftar isu bagi masing-masing komponen spk, maka usulkan kebutuhan atau ketakutan pokok dari pihak yang berbeda di tengah-tengah segitiga.

5.    Analogi bawang Bombay
Teknik analisis bawang Bombay merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Tujuannya adalah: untuk bergerak berdasarkan posisi publik masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak; juga untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok, sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Adapun teknik ini digunakan sebagai bagian dari suatu analisis untuk memahami berbagai dinamika situasi suatu konflik; juga sebagai persiapan untuk melancarkan dialong di antara kelompok-kelompok dalan suatu konflik; serta sebagai bagian dari proses mediasi atau negosiasi.

6.    Analisis Pohon konflik
Teknik analisis pohon konflik merupakan suatu alat bantu  analisis dengan menggunakan sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik, yakni inti masalah, sebab masalah, dan akibat masalah. Jadi, tujuan dari analisis dengan pohon konflik yakni:
Ø  Untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik.
Ø  Untuk membantu kelompok untuk menyepakati masalah inti.
Ø  Untuk membantu suatu kelompok atau suatu tim dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik.
Ø  Unutk menghubungkan berbagai sebab dan efek sutu sama lain, dan untuk memfokuskan organisasinya.
Analisis pohon konflik digunakan dengan suatu kelompok yang mengalami kesulitan untuk menyepakati masalah inti dalam situasi mereka; juga dengan suatu tim yang harus memutuskan isu-isu konflik mana yang seharusnya mereka atasi.

7.    Model Analisis 5W1H & PPP
When : kapan terjadi?; Where : dimana letak wilayah konflik terjadi? ; What : Apa masalah yang menjadi materi konflik? ; Who : Siapa yang terlibat dalam konflik? ; Why : Mengapa konflik terjadi? ; dan How : Bagaimana proses terjadinya konflik? Problem disini menunjuk pada masalah yang menjadi latar belakang dan inti konflik; Parties adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sedangkan Proses menunjuk kepada kronologis peristiwa, tahapan konflik (sengketa, sudah ada kekerasan terbatas, perdamaian, dst.).

8.    Model Analisis SAT
·         Struktural: menunjuk pada masalah mendasar berupa ketimpangan ekonomi, social, politik yang telah berlangsung lama dan terus-menerus.
·         Akselerator: hal-hal yang mempercepat tumbuhnya konflik menjadi besar. Misalnya, kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu, lumpuhnya penegakan hukum yang adil, fatwa larangan agama tertentu, polisi membiarkan penjahat berkeliaran, dst.
·         Trigger: kata lainnya Pemicu. Pemicu ini adalah kejadian biasa yang bisa menjadi alasan terjadinya konflik. Misalnya pertengkaran antar sopir, pertikaian pemuda sebagai buntut dari mabuk atau judi. Sebuah kebakaran besar di padang rumput disebabkan karena adanya rumput kering (structural atau conditio), adanya sepercik api (trigger), serta adanya angin yang bertiup kencang (akselerator).

i.             Analogi pilar
Analogi pilar merupakan suatu teknik analisis konflik dalam bentuk grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang ‘menahan’ situasi yang tidak stabil. Tujuannya adalah: untuk untuk memahami bagaimana berbagai struktur ditopang; juga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat situasi yang tidak diinginkan tetap bertahan; serta untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor negatif ini, atau mungkin untuk mengubahnya menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih positif. Teknik ini digunakan manakala situasi tidak jelas kekuatan apa saja yang membuat situasi tidak stabil tetap bertahan, juga ketika suatu situasi tampak ‘macet’ dalam ketidakadilan struktural.

ii.             Analisis Piramida
Teknik piramida merupakan sebuah alat bantu analisis konflik dalam bentuk grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholder (para pihak pemangku kepentingan) dalam suatu konflik. Tujuannya yakni: untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku utama, termasuk kepemimpinan, pada masing-masing tingkat; untuk memutuskan pada tingkat mana anda sedang mengatasi konflik sekarang dan bagaimana anda melibatkan tingkat-tingkat lainnya; juga untuk menilai tipe-tipe pendekatan atau tindakan-tindakan tepat yang dilakukan untuk pada masing-masing tingkat; dan untuk mempertimbangkan cara-cara untuk membangun kaitan antartingkat; serta untuk mengidentifikasi para sekutu yang potensial masing-masing tingkat. Teknik ini digunakan ketika menganalisis situasi yang tampaknya melibatkan beberapa pelaku di berbagai tingkat; tetapi juga ketika merencanakan berbagai tindakan untuk mengatasi konflik multitingkat; serta manakala memutuskan dimana energi difokuskan.

Isu-isu Krusial dalam Analisis Konflik
Pokok ini membahas sejumlah isu-isu krusial dan kritis yang seringkali muncul ketika kita melakukan analisis dan menggali lebih mendalam mengenai problematic konflik. Adapun isu-isu tersebut yakni:
1.    Isu kekuasaan (power),
2.    Isu Budaya,
3.    Isu Identitas,
4.    Isu Jender dan
5.    Isu mengenai hak.