Senin, 29 November 2010

Teori Penyebab Konflik


Berbagai teori-teori mengenai penyebab terjadinya suatu konflik social dapat diuraikan berikut ini:
·       Teori Hubungan Masyarakat: Teori hubungan masyarakat, menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh adanya polarisasi & fragmentasi sosial, serta ketidakpercayaan dan permusuhan yang terus terjadi diantara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda atau majemuk. Teori ini membantu menjelaskan adanya kemajemukan dan ketegangan social yang sudah barang tentu terjadi karena perbedaan dan pertentangan kepentingan, prinsip dan kehendak yang ada. Adapun sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah, pertama, meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang mengalami konflik; kedua, mengusahakan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling memahami dan menerima keragaman & kesederajatan yang ada di dalamnya; ketiga, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan-kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap; serta keempat, melancarkan proses pencapaian kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
·         Teori Kebutuhan Manusia.  Teori kebutuhan manusia merupakan bidang teori psikologis diantaranya yang diajukan oleh Psikolog Amerika, Abraham Maslow, yang berasumsi bahwa konflik yang sesungguhnya berakar secara mendalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia – fisik, mental, dan sosial - yang tidak terpenuhi atau cenderung dihalangi. Misalnya, kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan identitas, pengakuan, partisipasi, dan otonomi cukup sering merupakan inti pembicaraan. Adapun sasaran yang ingin dicapai teori ini adalah: pertama, membantu pihak-pihak yang mengalami konflik untuk mengidentifikasi dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan menghasilkan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu; kedua, agar pihak-pihak yang mengalami konflik mencapai kesepakatan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.
·         Teori Negosiasi Prinsip. Teori negosiasi prinsip menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini yakni: membantu pihak yang berkonflik untuk memisahkan perasaan pribadi dengan berbagai masalah dan isu, dan memampukan mereka untuk melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan mereka daripada posisi tertentu yang sudah tetap. Selanjutnya, hendak melancarkan proses kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak atau semua pihak.
·         Teori Identitas. Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena terancamnya atau tidak diakuinya identitas orang atau sekelompok orang, yang sering berakar di dalam hilangnya sesuatu atau di dalam penderitaan masa lalu yang tidak diselesaikan. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, melalui fasilitasi lokakarya dan dialog antara pihak-pihak yang mengalami konflik mereka dapat mengharapkan mengidentifikasi ancaman-ancaman dan ketakutan yang mereka rasakan masing-masing, serta untuk membantu membangun rasa empati dan rekonsiliasi di antara mereka; kedua, meraih kesepakatan bersama yang mengakui kebutuhan identitas pokok semua pihak.
·         Teori Kesalahpahaman Antarbudaya. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam komunikasi dan cara berkomunikasi diantara berbagai kelompok budaya yang berbeda. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, menambah pengetahuan pihak-pihak yang mengalami konflik mengenai budaya pihak lain; kedua, mengurangi stereotip negatif yang mereka miliki tentang pihak lain, seperti sikap atau pola pikir etnosentris yang menganggap hanya budayanya saja yang baik dan benar, tetapi mengganggap budaya pihak lain sebagai salah, jelek dan rendah. Titik ekstrim dari etnosentrisme ini adalah pada paham etrokratis yang mana menanggap kelompok budaya tertentu saja yang layak berkuasa dan menjadi pemimpin; kedua, meningkatkan keefektifan antarbudaya.
·         Teori Transformasi Konflik. Teori ini berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Adapun sasaran yang ingin dicapai oleh teori ini adalah: pertama, mengubah berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidakseteraan dan ketikadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; kedua, meningkatkan jalinan hubungan dan sikap jangka panjang di antara pihak-pihak yang mengalami konflik; ketiga, mengembangkan berbagai proses dan sistem untuk mempromosikan pemberdayaan, keadilan, perdamain, pengampunan, rekonsiliasi, dan pengakuan.
Perlu ditambahkan bahwa pentingnya pemahaman dan analisis yang lebih mendalam terhadap konflik kekerasan (violent conflict), khususnya melalui sumbangan berbagai perspektif teoritik diatas akan sangat membantu oleh karena beberapa factor alasan berikut ini. Pertama, menunjukkan bahwa perilaku kekerasan dan peperangan, dalam banyak kasus, hanya merupakan bagian kecil dari penyebab suatu konflik. Kedua, menunjukan adanya saling keterkaitan antara ketiga dimensi (sikap, perilaku, konteks), sehingga intervensi pada suatu dimensi saja akan menimbulkan dampak reaksi terhadap dimensi lain. Ketiga, menyadarkan kita untuk mengidentifikasi orang-orang yang melakukan kekerasan dan memperoleh keuntungan darinya, kadang dikenal sebagai para wisatawan konflik (pembonceng konflik) yang kepentingannya terpenuhi melalui kekerasan yang terus berlangsung. Dan keempat, sebagai jalan pembuka yang vital ke arah transformasi konflik, dalam hal konteks dan  sikap terhadap suatu situasi.
Bagian berikut hendak menguraikan tentang berbagai peralatan intelektual (frame of analysis) guna mengkaji dan menganalisis seluk-beluk konflik.

Pentingnya Pendekatan Analisis Konflik
Sebagai calon analist social atau aktivis social yang akan hidup dan berkarya ditengah masyarakat yang sarat dan rawan dengan konflik kekerasan termasuk konflik social dan politik, seperti di Maluku, kita sudah barang tentu perlu mengetahui dengan lebih baik tentang dinamika, hubungan dan isu-isu dalam suatu situasi tertentu, sehingga kita akan terbantu merencanakan strategi dan melakukan tidakan yang lebih baik. Wawasan pengetahuan dan pemahaman dimaksud umumnya bisa ditempu melalui dua cara yakni: pertama, dengan menjalankan analisis konflik secara rinci dari berbagai sudut pandang; tetapi bisa juga melalui upaya menggali isu-isu dan masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan konflik-konflik tersebut. Dengan demikian, analisis konflik amat penting dilakukan. Adapun analisis konflik dimengerti sebagai suatu proses intelektual-praktis untuk mengkaji dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang. Selanjutnya pemahaman ini membentuk dasar untuk mengembangkan strategi dan merencanakan tindakan.

Alat bantu untuk menganalisis situasi konflik
Ada sejumlah alat bantu (instrument) untuk menganalisis konflik dan menjelaskan cara penggunaannya dalam kasus-kasus penanganan konflik tertentu, yakni: 1) penahapan konflik; 2) pengurutan kejadian; 3) segitiga SPK (sikap-perilaku-konteks); 4) Analogi bawang Bombay (Donat); 5) Pohon Konflik; 6) Analisis Kekuatan Konflik; 7) Analogi Pilar; dan 8) Piramida (Fisher, dkk., 2001).

1. Penahapan Konflik
          Teknik penahapan konflik merupakan suatu cara menganalisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan fluktuasi (peningkatan dan penurunan) intensitas konflik yang dilukiskan dalam skala waktu tertentu. Tujuannya yakni: pertama, untuk melihat tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik; kedua, untuk membahas pada tahap situasinya sekarang berada; ketiga, untuk berusaha meramalkan pola-pola intensitas konflik di masa depan dengan tujuan untuk menghindari pola-pola itu terjadi; dan keempat, untuk mengidentifikasi periode waktu yang dianalisis dengan menggunakan alat-alat bantu lain.
Analisis dasar dengan teknik penahapan konflik terdiri dari lima tahap berikut ini:
l  Tahap Prakonflik. Ini merupkan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau, lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya konfrontasi.
l  Tahap Konfrontasi. Pada tahap ini konflik semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa bersalah, mungkin para pendukungnya melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya terjadi di antara kedua pihak.
l  Tahap Krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Dalam skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua belah pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan-pernyataan umum cenderung menentang pihak-pihak lainnya.
l  Tahap Akibat Konflik. Suatu krisis akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Suatu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain.
l  Tahap Pascakonflik. Akhirnya, situasi diselenggarakan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali menjadi situasi pra-konflik.
Adapun teknik penahapan konflik biasanya digunakan di awal proses analisis untuk mengidentifikasi pola-pola dalam konflik. Selain itu, digunakan pula diakhir proses untuk membantu menyusun strategi.

2.    Pengurutan kejadian
Teknik pengurutan kejadian merupakan suatu alat bantu analisis konflik dalam bentuk sebuah grafik yang menunjukkan kejadian-kejadian yang digambarkan di dalam skala waktu tertentu. Tujuan menggunakan teknik ini yakni: pertama, untuk menunjukkan pandangan-pandangan yang berbeda tentang sejarah dalam suatu konflik; kedua, untuk menjelaskan dan memahami pandangan masing-masing pihak tentang kejadian-kejadian; ketiga, untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian mana yang paling penting bagi masing-masing pihak.
Teknik pengurutan kejadian biasanya digunakan mulai pada awal proses, bersama dengan alat-alat bantu analisis lainnya; tetapi digunakan pula diakhir proses untuk membantu menyusun strategi; biasanya digunakan pada saat mana orang-orang berbeda pendapat tentang kejadian-kejadian, atau tidak saling mengetahui sejarah masing-masing; serta menjadi suatu cara membantu masyarakat untuk menerima bahwa pandangan mereka sendiri hanyalah sebagian dari “kebenaran”.

3.    Pemetaan Konflik
            Teknik pemetaan konflik merupakan sebuah alat bantu analisis konflik dalam bentuk semacam teknik visual yang menggambarkan hubungan diantara berbagai pihak yang berkonflik. Tujuannya yakni: pertama, untuk lebih memahami situasi dengan baik; kedua, untuk melihat hubungan di antara berbagai pihak secara lebih jelas; ketiga, untuk menjelaskan di mana letak kekuasaan; keempat, untuk memeriksa keseimbangan masing-masing kegiatan atau reaksi; kelima, untuk melihat para sekutu atau sekutu yang potensial berada di mana; keenam, untuk mengidentifikasi intervensi atau tindakan; ketujuh, untuk mengevaluasi apa yang dilakukan. Teknik ini biasanya digunakan pada awal proses, bersama dengan alat-alat bantu analisis lainnya; Juga diakhir proses, untuk mengidentifikasi kemungkinan jalan pembuka dalam mengambil tindakan atau untuk membantu proses membangun strategi. Variasi penggunaannya meliputi: peta geografis yang menunjukkan tempat dan pihak-pihak yang terlibat; pemetaan berbagai isu; pemetaan penjajaran kekuasaan; pemetaan berbagai kebutuhan dan ketakutan; serta patung manusia untuk mengungkap berbagai perasaan dan hubungan yang ada.

4.    Segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks)
          Segitiga SPK merupakan sebuah alat bantu analisis konflik yang menganalisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan konteks bagi masing-masing pihak utama. Tujuannya yakni:
Ø  Untuk mengidentifikasi ketiga faktor itu di setiap pihak utama.
Ø  Untuk menganalisi bagaimana faktor-faktor itu dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak.
Ø  Unutuk menghubungkan faktor-faktor itu dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak.
Ø  Untuk mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi.
Adapun teknik segitiga SPK digunakan pada awal proses untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas tentang motivasi pihak yang berbeda. Demikian pula, digunakan diakhir proses untuk mengidentifikasi faktor-faktor apa yang dapat diatasi dengan suatu intervensi. Serta untuk menunjukkan bagaimana perubahan dalam satu aspek mungkin mempengaruhi aspek lain. Cara menggunakannya yakni, setelah membuat daftar isu bagi masing-masing komponen spk, maka usulkan kebutuhan atau ketakutan pokok dari pihak yang berbeda di tengah-tengah segitiga.

5.    Analogi bawang Bombay
Teknik analisis bawang Bombay merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik. Tujuannya adalah: untuk bergerak berdasarkan posisi publik masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak; juga untuk mencari titik kesamaan di antara kelompok-kelompok, sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Adapun teknik ini digunakan sebagai bagian dari suatu analisis untuk memahami berbagai dinamika situasi suatu konflik; juga sebagai persiapan untuk melancarkan dialong di antara kelompok-kelompok dalan suatu konflik; serta sebagai bagian dari proses mediasi atau negosiasi.

6.    Analisis Pohon konflik
Teknik analisis pohon konflik merupakan suatu alat bantu  analisis dengan menggunakan sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik, yakni inti masalah, sebab masalah, dan akibat masalah. Jadi, tujuan dari analisis dengan pohon konflik yakni:
Ø  Untuk merangsang diskusi tentang berbagai sebab dan efek dalam suatu konflik.
Ø  Untuk membantu kelompok untuk menyepakati masalah inti.
Ø  Untuk membantu suatu kelompok atau suatu tim dalam mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik.
Ø  Unutk menghubungkan berbagai sebab dan efek sutu sama lain, dan untuk memfokuskan organisasinya.
Analisis pohon konflik digunakan dengan suatu kelompok yang mengalami kesulitan untuk menyepakati masalah inti dalam situasi mereka; juga dengan suatu tim yang harus memutuskan isu-isu konflik mana yang seharusnya mereka atasi.

7.    Model Analisis 5W1H & PPP
When : kapan terjadi?; Where : dimana letak wilayah konflik terjadi? ; What : Apa masalah yang menjadi materi konflik? ; Who : Siapa yang terlibat dalam konflik? ; Why : Mengapa konflik terjadi? ; dan How : Bagaimana proses terjadinya konflik? Problem disini menunjuk pada masalah yang menjadi latar belakang dan inti konflik; Parties adalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, sedangkan Proses menunjuk kepada kronologis peristiwa, tahapan konflik (sengketa, sudah ada kekerasan terbatas, perdamaian, dst.).

8.    Model Analisis SAT
·         Struktural: menunjuk pada masalah mendasar berupa ketimpangan ekonomi, social, politik yang telah berlangsung lama dan terus-menerus.
·         Akselerator: hal-hal yang mempercepat tumbuhnya konflik menjadi besar. Misalnya, kebijakan yang hanya menguntungkan pihak tertentu, lumpuhnya penegakan hukum yang adil, fatwa larangan agama tertentu, polisi membiarkan penjahat berkeliaran, dst.
·         Trigger: kata lainnya Pemicu. Pemicu ini adalah kejadian biasa yang bisa menjadi alasan terjadinya konflik. Misalnya pertengkaran antar sopir, pertikaian pemuda sebagai buntut dari mabuk atau judi. Sebuah kebakaran besar di padang rumput disebabkan karena adanya rumput kering (structural atau conditio), adanya sepercik api (trigger), serta adanya angin yang bertiup kencang (akselerator).

i.             Analogi pilar
Analogi pilar merupakan suatu teknik analisis konflik dalam bentuk grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang ‘menahan’ situasi yang tidak stabil. Tujuannya adalah: untuk untuk memahami bagaimana berbagai struktur ditopang; juga untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat situasi yang tidak diinginkan tetap bertahan; serta untuk mempertimbangkan berbagai cara untuk mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor negatif ini, atau mungkin untuk mengubahnya menjadi kekuatan-kekuatan yang lebih positif. Teknik ini digunakan manakala situasi tidak jelas kekuatan apa saja yang membuat situasi tidak stabil tetap bertahan, juga ketika suatu situasi tampak ‘macet’ dalam ketidakadilan struktural.

ii.             Analisis Piramida
Teknik piramida merupakan sebuah alat bantu analisis konflik dalam bentuk grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholder (para pihak pemangku kepentingan) dalam suatu konflik. Tujuannya yakni: untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku utama, termasuk kepemimpinan, pada masing-masing tingkat; untuk memutuskan pada tingkat mana anda sedang mengatasi konflik sekarang dan bagaimana anda melibatkan tingkat-tingkat lainnya; juga untuk menilai tipe-tipe pendekatan atau tindakan-tindakan tepat yang dilakukan untuk pada masing-masing tingkat; dan untuk mempertimbangkan cara-cara untuk membangun kaitan antartingkat; serta untuk mengidentifikasi para sekutu yang potensial masing-masing tingkat. Teknik ini digunakan ketika menganalisis situasi yang tampaknya melibatkan beberapa pelaku di berbagai tingkat; tetapi juga ketika merencanakan berbagai tindakan untuk mengatasi konflik multitingkat; serta manakala memutuskan dimana energi difokuskan.

Isu-isu Krusial dalam Analisis Konflik
Pokok ini membahas sejumlah isu-isu krusial dan kritis yang seringkali muncul ketika kita melakukan analisis dan menggali lebih mendalam mengenai problematic konflik. Adapun isu-isu tersebut yakni:
1.    Isu kekuasaan (power),
2.    Isu Budaya,
3.    Isu Identitas,
4.    Isu Jender dan
5.    Isu mengenai hak.

Kamis, 11 November 2010

Materi Konflik


Pengertian Konflik
Apa itu berbeda, bersengketa, dan konflik-berkonflik? Berbeda, bersengketa, dan berkonflik adalah tiga situasi yang kiranya bisa dipahami perbedaannya satu sama lain. “Berbeda” adalah situasi alamiah yang merupakan kodrat manusia. “Bersengketa” terjadi apabila dua orang atau dua kelompok (bisa lebih) yang bersaing satu sama lain.untuk mengakui  (hak atas) suatu benda atau kedudukan yang sama. Sedangkan “Berkonflik” adalah suatu situasi yang terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang (bisa lebih) menunjukkan praktek–praktek untuk menghilangkan pengakuan (hak) orang atau kelompok lainnya mengenai benda atau kedudukan yang diperebutkan (W. Boedhi, dkk. 2002). Berikut ini dideskripsi beragam rumusan pengertian konflik yang berdekatan artinya:
·         Menurut Oxford Dictionary (2003), konflik dipahami sebagai ‘situasi dimana orang-orang, kelompok, atau Negara terlibat di dalam perselisihan yang serius
·         Konflik dimengerti sebagai suatu situasi yang terjadi ketika ada perbedaan pendapat atau cara pandang diantara dua atau lebih orang, kelompok atau organisasi yang berbeda tak terjembatani. Juga sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua atau lebih orang atau kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan yang berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, yang mengarah pada konflik, atau hubungan konfliktual;
·         Konflik juga dimengerti sebagai ‘sebuah situasi ketidaksepahaman yang melibatkan para pihak yang berbeda karena merasa terancam dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya‘ (I. Malik, dkk, 2007);
·         Konflik bisa dipahami juga sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu, atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan (S. Fisher, dkk, 2000);
·         Konflik biasanya dipahami pula sebagai benturan antara gagasan–gagasan yang berbeda, sikap-sikap yang berbeda, maupun tindakan-tindakan yang berbeda tujuan serta kepentingannya.
·         Konflik adalah suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan. Secara ekstrim sampai pada taraf pembinasaan eksistensi seseorang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan. Perasaan memegang peranan penting dalam memper­tajam perbedaan-perbedaan, sehingga masing-masing pihak berusaha untuk saling menghancurkan.

Prinsip-Prinsip Konflik
Ada beberapa prinsip konflik, yang merupakan prinsip-prinsip dasar yang perlu dipedomani di dalam memikirkan dan memahami fenomena konflik serta ‘status questionis’nya sebagai suatu kenyataan yang eksistensial-manusiawi. Adapun beragam prinsip konflik dimaksud yakni:
§  Konflik itu selalu ada. Manusia hidup selalu berkonflik. Konflik ada dalam dan hadir dalam kehidupan manusia. Konflik seperti cuaca: selalu ada!
·         Konflik adalah bagian normal dari relasi manusiawi. Konflik itu selalu ada, dan manusia hidup selalu ada konflik, seperti kata pepatah bijak Cina: ‘jika anda tidak pernah bertikai dengan orang lain, anda tidak akan mengenal satu sama lain’.
·         Konflik adalah sesuatu yang dinamis, arahnya menuju perubahan. Secara sosiologis, konflik dimaknai sebagai salah satu cara bagaimana sebuah keluarga, komunitas, organisasi, dan masyarakat dapat berubah. Melalui konflik orang bisa ‘ditahirkan’ untuk bisa melihat kenyataan disekitarnya (sesama, profesi, lingkungan) secara baru dan berbeda. Dengan konflik, bisa terjadi perubahan kearah mobilisasi sumberdaya hidup dengan cara baru. Juga bisa membawa kita pada klarifikasi pilihan-pilihan dan kekuatan untuk mencari penyelesaiannya.
·         Konflik menciptakan energi. Energi dimaksud dapat bersifat merusak (destruktif), tetapi juga bisa bersifat kreatif-konstruktif. Energi konflik dapat dikelolah dan dialihkan demi pertumbuhan diri dan bersama, serta mengarahkan perubahan yang ada.
·         Konflik dipengaruhi oleh pola-pola psikis-emosional, kepribadian, maupun budaya. Reaksi-reaksi serta disposisi psikis (melamun, melawan, diam, extrovert, introvert, dst) berperan penting dalam mempengaruhi proses konflik. Intensitan konflik dan respons konfliktual juga amat dipengaruhi budaya orang.
·         Konflik punya ‘daur hidup’ dan ‘sifat-sifat bawaan’. Konflik dapat bertransformasi, bertambah cepat, perlahan menghilang, atau berubah bentuk. Konflik seperti cuaca: dapat berskala rendah, tapi juga bisa meningkat menjadi ‘badai’!
·         Konflik menggugah kita. Para penulis, pemikir, seniman, politikus, psikologi, sosiolog hingga ahli filsafat semuanya tergugah oleh konflik. Demikian pula kita!
·         Konflik mengandung berbagai makna. Konflik bagai drama yang dapat dianalisis dengan memahami siapa, apa, bagaimana, dimana, kapan, dan mengapa-nya dari kisah cerita konflik. Kebanyakan konflik berwajah jamak, sehingga usaha-usaha untuk memahaminya harus merekonstruksi informasi-informasinya. Satu titik tolak yang sama adalah untuk memahami berbagai makna yang dikandung dalam suatu konflik.
·         Konflik berfungsi produktif (positif) maupun non-produktif (resiko negative). Konflik yang produktif mengarah pada pokok permasalahan, kepentingan/minat, prosedur dan nilai-nilai pemahaman yang pada gilirannya menghasilan seberkas “cahaya”. Sedangkan konflik yang non-produktif cenderung mengarah pada pembentukan prasangka, memburuk komunikasi, sarat emosi, kurangnya informasi yang pada gilirannya menghasilkan “panas” dan bukan “cahaya”. Jadi konflik mengandung manfaat dan peluang positif maupun bahaya negative. Jika dikelola dengan baik maka konflik bisa menjadi sumber energy dan kreativitas yang mengarahkan perubahan yang positif. Diantaranya misalnya: konflik bisa membantu orang untuk saling memahami perbedaan yang ada, perbedaan pekerjaan/profesi atau lingkup tanggung jawab; konflik dapat menciptakan saluran atau ruang komunikasi yang baru; konflik dapat mendorong lahirnya semangat baru pada staf; konflik bisa memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi; serta konflik bisa menghasilkan distribusi sumber tenaga yang lebih merata dalam suatu organisasi misalnya.

Bentuk & Wujud Konflik.
v Konflik horizontal dan konflik vertical. Konflik horizontal adalah konflik yang terjadi diantara masyarakat sendiri, misalnya karena sengketa adat, sengketa tanah, konflik antar suku (etnik) dst. Konflik horizontal cenderung dipicu oleh adanya suatu dampak dari luar. Misalnya hadirnya suatu program atau proyek dari pihak luar yang hanya menguntungkan sekelompok masyarakat tetapi merugikan kelompok masyarakat lain yang berbeda. Ini akan memicu terjadinya sentiment dan kecemburuan social yang bisa melahirkan konflik horizontal diantara masyarakat sendiri. Sedangkan, konflik vertical adalah konflik antara pusat & daerah, antara penguasa & bawahan, antara Negara dan masyarakat, yang mencakup misalnya kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan militer, yang cukup sering membuat rakyat tak berdaya (bdk. Penguasa orde baru), yang bisa berimbas pada konflik horizontal maupun konflik etnik dan SARA.
v Konflik yang diboncengi. Jarang ditemukan konflik social yang murni bersifat horizontal. Tetapi cukup sering terjadi adanya pengaruh dan pemicu (provokator) dari pihak luar, serta adanya kepentingan luar yang turut berperan melahirkan bersama suatu konflik social. Misalnya sejatinya suatu konflik vertical bisa direkayasa sedemikian sehingga menjadi konflik horizontal. (Boleh jadi konflik social di Maluku juga diboncengi?).
v Konflik Seimbang & Konflik Sepihak. Konflik seimbang terjadi jika para pihak yang berkonflik itu sama, setara atau berimbang kekuatannya. Konflik jenis ini cenderung bisa memakan waktu lama dan cara penyelesaiannya pun agak berbeda. (lamanya kerusuhan Ambon mungkin karena kekuatan para petikai berimbang sehingga makan waktu lama?). Lawannya adalah konflik sepihak atau konflik yang tidak seimbang kekuatan antara pihak yang terlibat. Konflik vertical antara pusat/penguasa dan daerah/rakyat bisa menjadi contoh dari konflik sepihak. Karena itu pola pendekatan penanganan konflik baik yang berupa upaya mediasi, negosiasi, dialog, maupun pola transformasi konflik hendaknya mempertimbangkan pula pihak mana yang kuat dan mana yang lemah, serta berdasarkan atas keadilan, kebenaran dan ahimsa-tanpa kekerasan.  
Selanjutnya, setiap konflik social baik yang horizontal & vertical, konflik yang diboncengi, maupun konflik sepihak dan seimbang diatas senantiasa muncul atau terwujud di dalam beberapa wujud nyata konflik yakni:
1.    Situasi Non-Konflik. Secara umum situasi non-konflik dianggap merupakan kondisi yang lebih baik (ideal), karena situasi social ditandai oleh kehidupan yang rukun tanpa konflik. Akan tetapi situasi non-konflik ini hanya bisa diraih jika kelompok-kelompok social masyarakat yang berbeda yang mau hidup berdamai, haruslah bersemangat, dinamis serta kreatif bukan hanya dalam memanfaatkan dan mengarahkan potensi konflik perilaku dan tujuan, tetapi perlu juga mengelola potensi konflik secara kreatif.
2.    Konflik Laten (konflik yang tersembunyi). Maksudnya wujud konflik laten cenderung masih tersembunyi. Akan tetapi jangan sampai konflik laten menjadi suatu kontravensi yakni keadaan yang terus menumpuk dendam, dengki benci yang membara (semacam api dalam sekam),   maka perlu diangkat ke permukaan melalui apa yang disebut sebagai praktek dan pola ‘mengintensifkan konflik’. Pengintensifan konflik adalah cara mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka, sehingga dapat ditangani secara efektif guna mencapai suatu tujuan tanpa perlu melibatkan kekerasan.
3.    Konflik di Permukaan atau Konflik Mencuat (emerging conflict). Adalah wujud konflik yang memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi. Sering terjadi bahwa suatu konflik mencuat dapat digiring intensitas dan eskalasinya menjadi suatu konflik terbuka melalui suatu mekanisme atau cara ‘meningkatkan konflik’. Upaya ‘Peningkatan Konflik’ sebetulnya merujuk pada suatu situasi yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat ketegangan dan kekerasan dalam wujud konflik terbuka.
4.    Konflik Terbuka, adalah wujud konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Bahkan pendekatan penanganannya bukan haruslah menjangkau akar masalah, serta merubah kondisi yang buruk menjadi lebih baik, melalui cara pendekatan transformasi konflik misalnya.
Cukup sering terjadi bahwa suatu konflik yang ditekan dan semakin ditekan bisa jadi akan memicu munculnya masalah-masalah lain yang baru yang tak disadari. Dan mungkin saja, konflik yang ditekan itu sebetulnya bisa menjadi bagian dari solusi atas suatu masalah. Suatu konflik akan berubah menjadi kekerasan jika: Saluran dialog dan wadah untuk mengungkapkan perbedaan pendapat tidak memadai lagi; Suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak didengar dan diatasi; tetapi juga banyak ketidakstabilan, ketidakadilan dan ketakutan dalam masyarakat yang lebih luas.



Sabtu, 21 Agustus 2010

CARA MENGELOLA KONFLIK SECARA EFEKTIF


Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar kelompok, konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara mengelolanya.
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer tidak hanya wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi juga wajib untuk mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.

Penyebab Konflik
Konflik di dalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

A. Faktor Manusia
1. Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya.
2. Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku.
3. Timbul karena ciri-ciri kepriba-dian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap fanatik, dan sikap otoriter.

B. Faktor Organisasi
1. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya.
Apabila sumberdaya baik berupa uang, material, atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar unit/departemen dalam suatu organisasi.
2. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi.
Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai spesialisasi dalam fungsi, tugas, dan bidangnya. Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit tersebut. Misalnya, unit penjualan menginginkan harga yang relatif rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen, sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan perusahaan.
3. Interdependensi tugas.
Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu hasil kerja dari kelompok lainnya.
4. Perbedaan nilai dan persepsi.
Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negatif, karena merasa mendapat perlakuan yang tidak “adil”. Para manajer yang relatif muda memiliki presepsi bahwa mereka mendapat tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior men¬dapat tugas yang ringan dan sederhana.
5. Kekaburan yurisdiksional. Konflik terjadi karena batas-batas aturan tidak jelas, yaitu adanya tanggung jawab yang tumpang tindih.
6. Masalah “status”. Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan status, sedangkan unit/departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam posisinya dalam status hirarki organisasi.
7. Hambatan komunikasi. Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.
 

Akibat-akibat Konflik
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
Akibat negatif
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi, dan apatisme.

Akibat Positif dari konflik:

• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.

Cara atau Taktik Mengatasi Konflik

Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat-tidaknya suatu konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.
Diatasi oleh pihak-pihak yang bersengketa:
Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerja-sama dan menjalani hubungan yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
Persuasi: Usaha mengubah po-sisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin timbul, dengan bukti faktual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
Tawar-menawar: Suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.
Pemecahan masalah terpadu: Usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternatif pemecahan secara bersama de¬ngan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.
Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah; akan lebih efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentuk-bentuk intimidasi lainnya. Cara ini sering kurang efektif karena salah satu pihak hams mengalah dan menyerah secara terpaksa.

Intervensi (campur tangan) pihak ketiga:

Apabila fihak yang bersengketa tidak bersedia berunding atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam penyelesaian konflik.
Arbitrase (arbitration): Pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai “hakim” yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau tindakan destruktif.
Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa. Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus, menjernihkan dan memperjelas masalah serta mela-pangkan jalan untuk pemecahan masalah secara terpadu. Efektivitas penengahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.
Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. la menggunakan berbagai teknik untuk meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.
Hal-hal yang Perlu Diperhati-kan Dalam Mengatasi Konflik:
1. Ciptakan sistem dan pelaksanaan komunikasi yang efektif.
2. Cegahlah konflik yang destruktif sebelum terjadi.
3. Tetapkan peraturan dan prosedur yang baku terutama yang menyangkut hak karyawan.
4. Atasan mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan konflik yang muncul.
5. Ciptakanlah iklim dan suasana kerja yang harmonis.
6. Bentuklah team work dan kerja-sama yang baik antar kelompok/ unit kerja.
7. Semua pihak hendaknya sadar bahwa semua unit/eselon merupakan mata rantai organisasi yang saling mendukung, jangan ada yang merasa paling hebat.
8. Bina dan kembangkan rasa solidaritas, toleransi, dan saling pengertian antar unit/departemen/ eselon.

Kamis, 12 Agustus 2010

Konflik Konteks Keindonesiaan

           Studi konflik telah dimulau sejak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disiplin ilmu sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional. Akan tetapi, studi ini menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui berbagai peristiwa konflik kekerasan baik dalam dimensi etnis, agama, dan saparatisme pasca kekuasaan Orba (orde baru).
            Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003), namun istilah konflik mensiratkan makna negatif bagi kelompok dan sejarah tertentu, sebagai Indonesia pada masa kekuasaan Orba. Rezim orba berpandangan bahwa konflik harus ditiadakan dari dunia sosial dan politik. Karena konflik berarti ketidakstabilan, ketidakharmonisan dan ketidakamanan. Pada pemahaman ini, Orba menciptakan stabilitas politik. Sebagaimana yang di sampaikan Afan Gaffar (1999), bahwa "stabilitas politik nasional di Indonesia diwujudkan dengan sebuah pendekatan keamanan yang sangat ketat. Hal ini dapat dilihat dari dibentuknya lembaga-lembaga, yang ada pada dasarnya mempunyai karakteristik Represif, seperti : Opsus, Bakin, Kopkamtib/Laksus dan ditsospol pada Depdagri.
            Semua kebijakan penguasa Orba pada gilirannya dilandaskan pada prinsip keamanan politik. Sehingga jika terdapat inisiatif kritis dari masyarakat lokal, maka hal itu dianggap sebagai tindakan subversif dan ancaman terhadap integrasi bangsa. Melalui prinsip keamanan politik inilah maka rezim Orba selalu mekasanakan pengontrolan terhadap proses kritis tersebut melalui lembaga Negara, terutama militer dan birokrasi. Lembaga militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat Desa sampai Provinsi, (dari Babinsa sampai Kodam) hal ini sengaja dilakukan demi keamanan dan keharmonisan. 
            Apa yang dilakukan oleh Rezim Orba kemaren adalah pendekatan keamanan tradisional (traditional security). Suatu pendekatan yang mengutamakan "militerry power" dan tidak ada sikap negosisasi sebagai pertimbangan politik Rezim. Pendekatan ini mengabaikan kesetaraan sosial ekonomi demi terciptanya harmoni. Harmoni yang berarti kondisi dalam keselarasan, pada dasarnya dimaknai secara sempit oleh Rezim Orba, yaitu situasi aman tanpa konflik. Konsep aman yang diusung ini jelas bahwa "aman" bukan sebagai kondisi 'tertib hukum' melainkan kondisi 'tertib politik', dalam arti bahwa tidak ada kekuatan-kekuatan yang  kontra terhadap Penguasa, sehingga 'harmoni" yang tercipta tidak berhubungan dengan rasa aman. Justru harmoni ini telah menjadi "Hegemoni"  negara terhadap rakyatnya.
            Indonesia sejak tahun 1970 telah mengalami banyak krisis terutama krisis politik dalam konflik idiologis yang berkepanjagan. Ketidak stabilan politik inilah yang menjadi dasar para arsitek pembangunan Orba, sehingga mereka percaya bahwa masa depan Indonesia semestinya di bebaskan dari konflik politik dengan melakukan tertib politik melalui pendekatan keamanan tradisional yang sangat represif.
Bersambung .…
Tanks to Novri Susan, M.A
            Studi konflik telah dimulau sejak perkembangan ilmu sosial klasik sampai abad postmodern terutama melalui disiplin ilmu sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional. Akan tetapi, studi ini menjadi perhatian serius dan berkembang di Indonesia melalui berbagai peristiwa konflik kekerasan baik dalam dimensi etnis, agama, dan saparatisme pasca kekuasaan Orba (orde baru).
            Telah menjadi fakta bahwa konflik selalu menjadi bagian hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta pendorong dalam dinamika dan perubahan sosial politik (Kornblurn, 2003), namun istilah konflik mensiratkan makna negatif bagi kelompok dan sejarah tertentu, sebagai Indonesia pada masa kekuasaan Orba. Rezim orba berpandangan bahwa konflik harus ditiadakan dari dunia sosial dan politik. Karena konflik berarti ketidakstabilan, ketidakharmonisan dan ketidakamanan. Pada pemahaman ini, Orba menciptakan stabilitas politik. Sebagaimana yang di sampaikan Afan Gaffar (1999), bahwa "stabilitas politik nasional di Indonesia diwujudkan dengan sebuah pendekatan keamanan yang sangat ketat. Hal ini dapat dilihat dari dibentuknya lembaga-lembaga, yang ada pada dasarnya mempunyai karakteristik Represif, seperti : Opsus, Bakin, Kopkamtib/Laksus dan ditsospol pada Depdagri.
            Semua kebijakan penguasa Orba pada gilirannya dilandaskan pada prinsip keamanan politik. Sehingga jika terdapat inisiatif kritis dari masyarakat lokal, maka hal itu dianggap sebagai tindakan subversif dan ancaman terhadap integrasi bangsa. Melalui prinsip keamanan politik inilah maka rezim Orba selalu mekasanakan pengontrolan terhadap proses kritis tersebut melalui lembaga Negara, terutama militer dan birokrasi. Lembaga militer mengawasi aktivitas masyarakat dari tingkat Desa sampai Provinsi, (dari Babinsa sampai Kodam) hal ini sengaja dilakukan demi keamanan dan keharmonisan. 
            Apa yang dilakukan oleh Rezim Orba kemaren adalah pendekatan keamanan tradisional (traditional security). Suatu pendekatan yang mengutamakan "militerry power" dan tidak ada sikap negosisasi sebagai pertimbangan politik Rezim. Pendekatan ini mengabaikan kesetaraan sosial ekonomi demi terciptanya harmoni. Harmoni yang berarti kondisi dalam keselarasan, pada dasarnya dimaknai secara sempit oleh Rezim Orba, yaitu situasi aman tanpa konflik. Konsep aman yang diusung ini jelas bahwa "aman" bukan sebagai kondisi 'tertib hukum' melainkan kondisi 'tertib politik', dalam arti bahwa tidak ada kekuatan-kekuatan yang  kontra terhadap Penguasa, sehingga 'harmoni" yang tercipta tidak berhubungan dengan rasa aman. Justru harmoni ini telah menjadi "Hegemoni"  negara terhadap rakyatnya.
            Indonesia sejak tahun 1970 telah mengalami banyak krisis terutama krisis politik dalam konflik idiologis yang berkepanjagan. Ketidak stabilan politik inilah yang menjadi dasar para arsitek pembangunan Orba, sehingga mereka percaya bahwa masa depan Indonesia semestinya di bebaskan dari konflik politik dengan melakukan tertib politik melalui pendekatan keamanan tradisional yang sangat represif.
Bersambung .…
Tanks to Novri Susan, M.A.